Makalah Agama Jain
REVISI
MAKALAH
AGAMA-AGAMA
DI DUNIA (AGAMA JAINA)
Dosen pembimbing :
Siti Nadroh, MA.
Penyusun :
·
Muslimatun Hasanah (11160360000027)
·
Asrofi
(11160360000006)
·
Abi Maulana Rizky
(11160360000004)
MATA KULIAH AGAMA-AGAMA DUNIA
PROGRAM STUDI ILMU HADITS (A)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الحيم
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas
izin dan karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tak
lupa shalawat dan salam kami hanturkan kepada junjungan alam, Nabi besar
Muhammad Saw yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan seperti yang sekarang ini. Begitu juga kepada
keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga sekarang. Aminn,..
Rasa terima
kasih kami hanturkan kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami
sehingga kami bisa menyusun makalah ini yang berjudul "Agama Jain",
yaitu Ibu. Siti Nadroh, MA. Semoga Allah SWT selalu merahmati beliau dan selalu
memberikan kesehatan kepada beliau. Amin,..
Kami
menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari ketidak sempurnaan dan banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangn dari pembaca untuk
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Wasalamu'alaikum
Tim Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
…………………….……………………………………. ii
Daftar Isi
……………………………….………………………………….iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………...……………………………..1
B. Rumusan Masalah ……………...…………………………………...…..2
C. Tujuan ………………………………………………………...…………2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Agama Jain ……………………………………...………………3
B. Pembawa agama Jain ……………………………….……….…………..6
C. Konsep Tentang Ketuhanan ……………………………..….…………..7
D. Etika Penganut Agama Jain ……………………………..….…..………11
E. Ibadah dan Ajarannya ………………………………………...…………13
F. Kitab Suci Agama Jain ………………………………………...………..16
G. Sekte Di Dalam Agama Jain
…………………………………..………..18
H. Reformasi Di Dalam Agama Jain
……………………………...……….19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..22
B. Saran …………………………………………………….………………22
Daftar Pustaka
……………………………………………………..……..23
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar abad ke-6 SM, di India tumbuh subur bermacam-macam kecerdasan
pikiran dan ilmu pengetahuan, yang kemudia melahirkan beberapa tokoh besar, salah
satunya ialah Mahavira. Tokoh inilah yang mempopulerkan dan menyebarkan ajaran
bahwa kehidupan dunia ini sengsara, hidup di dalamnya adalah suatu neraka,
serta perubahan dan kelenyapan adalah asas kehampaan dan puncak penderitaan.
Dalam ajarannya, Mahavira juga meyakini adanya pengulangan kelahiran dan
menyeru berzuhud sebagai suatu jalan untuk menyelamatkan diri. Ajaran ini
kemudia dikenal dengan Jainisme.[1]
Agama Jain atau Jainisme merupakan
agama monastik kuno yang lahir dan berkembang di India. Ajaran ini mulai diakui
keberadaannya di Magadha, sebuah kawasan di India Utara, sekitar abad ke-6 dan
ke-5 SM melalui ajaran yang disebarkan oleh Mahavira. Mahavira dikenal sebagai
nabi Jainisme, bukan penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa
Mahavira dianggap bukan yang paling dahulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme.
Namun, diakui bahwa diantara sekian banyak tokoh suci yang menyebarkan paham
Jainisme, Mahavira adalah yang paling akhir turun ke dunia, sehingga ia
dianggap sebagai penyempurna ajaran-ajaran agama Jain.[2]
Adapun
tujuan tertinggi ajaran-ajaran agama Jain pada hakekatnya adalah untuk mencapai
kesempurnaan absolut dari kehakikian manusia, yakni pembebasan diri dari segala
macam penderitaan dan kungkungan atau belenggu. Oleh karena itu, tidak heran
kalau ada sarjana yang mengatakan bahwa Jainisme dapat disebut sebagai suatu
agama tentang manusia sempurna. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut, agama
Jain mendorong para penganutnya untuk hidup dengan penuh kesederhanaan, yang
diwujudkan dalam bentuk praktek-praktek asketik atau pertapaan. Hidup semacam
ini merupakan usaha untuk mencapai kehidupan yang abadi. Barangkali,
pratek-pratek asketik yang masih angat ditekankan tersebut merupakan akibat
dari masi kuatnya pengaruh ajaran Brahmanisme. Agama tersebut berjalan atas
dasar paham-paham populer tentang karakter yang lebih primitif dan kasar,
seperti pemakaian ide-ide animistis, sebagaimana nampak jelas dalam uraian
tentang jenis-jenis makhluk. Berbeda dengan paham aliran Sankhya, yang berusaha
menjelaskan perkembangan dunia materi dan makhluk-makhluk hidup berdasarkan
prinsip dualisme purusa dan prakrti. Jainisme hampir-hampir terlibat secara
ekslusif pada makhluk-makhluk yang hidup saja, dan menyatakan bahwa sebab
terjadinya dunia materi dan struktur alam semesta adalah karena lokasthiti,
pembawaan dahulu kala.[3]
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Jain ?
- Bagaimana konsep ketuhanan di dalam agama Jain ?
- Bagaimana sikap atau etika para penganut agama Jain ?
- Bagaimana para penganut agama Jain beribadah dan bagaimana ajarannya ?
- Apa kitab suci agama Jain dan ditulis dalam bahasa apa ?
- Adakah sekte dalam agama Jain ?
C. Tujuan
- Mengetahui sejarah dan perkembangan agama Jain
- Mengetahui konsep ketuhanan para penganut agama Jain
- Mengetahui sikap dan etika para penganut agama Jain
- Mengetahui para penganut Jain beribadah
- Mengetahui kitab suci agama Jain dan bahasanya
- Mengetahui sekte-sekte yang berada di dalam agama Jain
BAB II
PEMBAHASAN
- Sejarah Agama Jain
Agama
Jain atau Jainisme muncul di Magadha, India Utara pada zaman Wiracarita, masa
akhir zaman Brahmana sekitar abad ke-6 SM. Sebagaimana agama Buddha, Jainisme
menolak otoritas kesakralan Weda dan reaksi terhadap ekstremitas
praktik-praktik keagamaan Hindu, di antaranya sistem kasta, upaca korban,
pemujaan terhadap dewa, dan otoritas kaum brahmana. Buddhisme dan Jainisme
dipandang sebagai dua cabang besar ajaran heterodoks dan Hinduisme (Zaehner,
1992: 65). Jainisme dibuat sebagai gerakan protes terhadap upacara Veda dan
juga penerapannya.[8]
Istilah
Jain berasal dari kata Jina dari bahasa Sansekerta, yang berarti
"pemenang" atau yang "mengalahkan". Yang dimaksud adalah
berhasil mengalahkan, atau mengatasi secara tuntas kungkungan atau belenggu
penyakit dan penderitaan dalam kehidupan. Orang seperti ini disebut sebagai
Jaina, pemenang.[9]
Agama
Jain dipandang sebagai agama kuno, berasal dari Maha Penakluk (Maha Jaina),
yang menjelma di bumi untuk memberikan bimbingan kepada manusia, sejak
berjuta-juta tahun yang lalu, dan terus berlangsung sampai 24 kali penjelmaan.
Penjelmaan pertama (penakluk pertama) bernama Adinath dan yang ke-24 (penakluk
terakhir) ialah Vardhamana, yang mendapat panggilan Mahavira.[10]
Oleh
karena itu Mahavira lebih dikenal sebagai Nabi Jainisme, bukan pendirinya.
Mahavira dipandang bukan yang paling dahulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme,
karena sudah didahului oleh urutan Tirthankara, "jiwa sempurna" yang
muncul setiap zaman dan Mahavira ialah yang paling akhir turun ke dunia ini,
setelah pendahulunya Parspanatha (Pasuanath) yang dilahirkan pada abad ke-9 SM
dan meninggal pada abad ke-8 SM dan Neminatha, yang diduga mendahului
Parsvanatha, meninggal dunia kira-kira 5.000 tahun sebelmunya.[11]
Kedua puluh empat Tirthankara yang
diyakini telah menyebarkan agama Jain ke dunia yaitu:
- Rsba (Vrsabha), sapi jantan, emas.
- Ajita, gajah emas.
- Sambhava, kuda emas.
- Abhinandana, kera emas.
- Sumati, burung bangau emas.
- Padmaprabha, bungan teratai merah.
- Suparsva, swastika emas.
- Chandrapabha, bulan putih.
- Suvidhi (puspadanta), ikan lumba-lumba putih.
- Sitala, berupa srivatsa emas.
- Sreyamsa (Sreyan), badak emas.
- Vasupujya, kerbau merah.
- Vimala, babi emas.
- Ananta (Anatajit), burung elang emas.
- Dharma, halilintar emas
- Santi, kijang emas.
- Kunthu, kambing emas.
- Ara, berupa nandyavarta emas.
- Malli, kendi biru.
- Suvrata (Manisuvrata), kura-kura hitam.
- Nami, teratai biru emas.
- Nemi (Aristanemi), kulit kerang-kerangan hitam.
- Parsva, ular biru.
- Vardhamana, harimau emas.
Semua Tirthankara dari golongan ksatria,
Munisuvrata dan Nemi keturunan Harivamsa, sedangkan ke-23 dan ke-24 dari
keturunan ras Ikhsvaku.[12]
B. Sejarah Pembawa Agama Jain
Nataputta
Vardhamana (599-527 SM), ia berasal dari keluarga pimpinan ksatria dari klan
Naya. berayah Raja Shriyama dan ibunya Permaisuri Devanada dari kerajaan
Moghadah, di sebelah utara India, dengan ibukota Vaisali (Behar), tepatnya di
kampung Basarh, kira-kira 27 mil di sebelah utara kota Patna.[14]
Umat Jain biasa memanggilnya Mahavira, nama yang diyakini diucapkan para dewa.
Vardhamana
dipanggil Mahavira itu sendiri menurut legenda ketika sedang bermain-main di
kebun istana, ada seekor gajah terlepas dari kandangnya dan mengayunkan
belalainya dengan marah. Tidak ada seorang pun yang berani menangkap dan
menjinakkan gajah itu. Vardhamana yang saat itu berusia tujuh tahun, memegang
belalai gajah dan merangkak menaiki gajah tersebut serta mengendalikannya untuk
kembali ke kandang. Ketika peristiwa besar itu tersiar, semua memuji keberanian
pangeran muda Vardhamana dan sejak saat itu diberi julukan Mahavira,
"pahlawan besar".[15]
Ketika
Mahavira berusia dua belas tahun, dipakaikan benang suci sebagaimana kebiasaan
umat Hindu, mengambil sumpah setia kepada agama ayahnya, dan dikirim kepada
padri untuk belajar kitab agama Hindu beberapa tahun lamanya. Dalam cerita lain
disebutkan pada usia sebelas tahun, sesuai tradisi Hindu menjalani hidup
sebagai Brahmacharya, kewajiban mempelajari agama Hindu, dan pada usia delapan
belas tahun berhasil lulus dan memperoleh tanda suci (sacred cord) dalam
upacara Upanayama, kelahiran kedua (Dvija) bagi golongan kasta atas.[16]
Pada tahap Grihasta, tahap berumah tangga, dikawinkan dengan Putri Yoshandha,
dan hidup selama sepuluh tahun dengan bahagia dan memperoleh seorang putri
bernama Anoja.[17]
Ketika
Mahavira berusia 28 tahun kedua orangtuanya meninggal, bukan karena sakit atau
usia tua, melainkan karena lapar. Pada zaman itu di tanah India, menurut ajaran
keagamaan Hindu bahwa kematian karena lapar adalah kematian yang suci (holy
death).[18]
Raja Shriyama dan Ratu Devananda sebagai penganut agama yang taat, telah
melaparkan badanya sehingga memperoleh kematian yang suci.
Mahavira melakukan
perjalanan mengembara sebagai seorang fakir dan hidup mengemis. Kebanyakan
waktunya dihabiskan di hutan, di atas gunung, termenung memikirkan
ajaran-ajaran agama yang ada di dalam kitab Hindu. Dia tidak memperdulikan
sakit-senang, suka-duka, lapar-haus, segala macam derita dan kesengsaraan. Dua
belas tahun lamanya berjalan kesana kemari tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Mahavira haus kebenaran, ingin mengetahui hakikat hidup. Berusaha memikirkan
jalan untuk mengubah serta memperbaiki agama bangsanya.[19]
Selama
dua belas tahun menjalani latihan fisik, mental, dan rohani, dan pada tahun
ke-13 dari masa pertapaannya, ia berhasil memperoleh pengetahuan agung yang
disebut kevala.[20]
Mahavira kemudian berusaha menyebarkan ajaran-ajaran pencerahannya, dari satu
tempat ke tempat lainnya, berkhotbah tidak kenal lelah. Banyak ajarannya yang
tidak asing lagi bagi orang yang mendengar, karena ajaranya itu bagian dari
agama Hindu, atau perbaikan-perbaikan yang telah disiarkan sebelum Mahavira.
Hanya sebagian dari pemikiran Mahavira yang sebetulnya baru (Asal Mula, t.th:
46).
Mahavira
mengajak keluarga, kerabat, serta penduduk kota. Mahavira memberikan 55 khotbah
dan menjawab 36 pertanyaan yang tidak ditanya. Mahavira berkhotbah bahwa hidup
adalah penderitaan, mati penderitaan, tidak memperoleh apa yang diinginkan juga
penderitaan. Penderitaan dunia datangnya dari keinginan. Manusia menderita
karena karena menginginkan hal yang macam-macam dan keinginan akan selalu terus
ada dan bertambah meskipun sudah mendapat banyak. Maka keinginan itulah yang
menyebabkan penderitaan.[21]
Mahavira
mengajarkan bahwa kebebasan dari penderitaan manusia itu terpendam di dalam
diri manusia itu sendiri. Kebebasan itu ialah kebebasan dari karma, yakni
sebab-akibat dari tindak-laku manusia, dan kebebasan dari sasmara, yakni hidup
berulang kali ke dunia yang semuanya itu merupakan derita. Manusia dapat
memperoleh kebebasan atau keselamatan berdasarkan usahanya sendiri.[22]
Berikut adalah khutbah-khutbah Mahavira:
"kebebasan
itu bukan dengan mempersembahkan korban sewaktu-waktu, dan bukan pula dengan
mempersembahkan sesajen di depan berhala."
"Hai
Manusia !! Anda adalah sahabat diri Anda sendiri. Mengapa Anda merindukan
sahabat di luar Anda sendiri ?" (SBE, 22: 23)[23]
"Pelajarilah
hukum penaklukan (law of Jaina) dari padaku. Curang, tamak, amarah, angkuh,
seseorang yang bijaksana haruslah menghindarkan diri dari semua itu.. terompah,
payung, dadu, bekerja melayani orang lain, saling bantu-membantu, seseorang
yang bijaksana akan menghindarkan diri dari semuanya itu.. Jikalau seseorang
dipukuli, janganlah dia marah, jikalau dinista janganlah naik pitam, dengan
ingatan yang tenang, ia akan memperoleh segalanya, dan janganlah hiruk
piruk." (SBE, 45: 301-305)[24]
"seorang
rahib tidaklah harus marah, jikalau dipukul dan jangan senang dengan
pikiran-pikiran yang salah. Mengenali kesabaran adalah kebijakan tertinggi.
Seorang rahib mestilah merenungkan Hukum senantiasa." (SBE, 45: 12)
Mahavira
menjelaskan bahwa cinta maupun benci haruslah dihindari, karena kedua-duanya
itu merupakan dorongan dan tarikan hasrat yang menjadi pangkal segala derita di
dalam kehidupan manusia.
"Seorang rahib yang mencintai sesuatunya, maupun orang lain
mencintainya, tidak akan membebaskan dari dosa dan dendam." (SBE,
45:32)
"Dengan menaklukkan cinta, benci, kepercayaa yang keliru,
seseorang akan memutus mata rantai karma." (SBE, 45:172)[25]
"Mempelajari pengetahuan yang benar, menghindari kebodohan dan
keabaian, memusnahkan cinta dan benci, seseorang akan mencapai Nirvana."
(SBE, 45: 184)[26]
Kemudian Mahavira
menjelaskan: tidak percaya kepada kasta, tidak percaya bahwa pemujaan itu
bermanfaat, atau orang-oarang yang melakukannya dapat berbuat baik.
Pandangan-pandangan
tersebut mengundang pertanyaan :
"Jika Anda tidak percaya kebenaran kasta, tidak percaya bahwa
Brahmana yang menciptakan dunia, tidak percaya bahwa pengorbanan yang
ditunjukkan kepada pemujaan atau do'a yang diucapkan bermanfaat, bagaimanakah
seharusnya orang yang mencari pengampunan dosa, sehingga dapat memasuki nirvana
?"
Mahavira
menjawab :
"Bukan dengan persembahyangan, bukan dengan pengorbanan, bukan
dengan memuja patung, orang akan dapat pengampunan dan dapat melakukan hidup
baik. Hanya dengan diri sendiri berbuat baik orang dapat mencapai nirvana.
Dalam diri sendiri terletak keselamatan."[27]
Lebih jelas
dan tegas, Mahavira mengajarkan jalan untuk mengakhiri penderitaan, yaitu
dengan menghapus "keinginan". Bila orang telah dapat menghapus
keinginan, ia baru dapat mempersiapkan diri untuk kebahagiaan jiwanya, yaitu
nirvana. Jalan menuju nirvana melalui Tiga Mustika, yaitu:
- kepercayaan yang benar, yang merupakan puncak penyelamatan bagi penganut Jainisme. Dalam kepercayaan ini mereka harus percaya kepada para pemimpin Jain atau thirtankara yang 24.
- pengetahuan yang benar, keyakinan ini mengajarkan pengetahuan mengenai alam dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantaa keduanya.
- kelakuan yang benar, kelakuan ini mengajarkan agar penganut Jainisme memiliki akhlak yang baik, seperti melakukan kebaikan, meninggalkan keburukan, tidak membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan kecurangan, dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri.[28]
Mahavira terus menyeru masyarakat sampai menghembuskan napas
terakhirnya pada tahun 527 SM.[29]
Pada usia 72 tahun mencapai nirvana di kota Pavapuri (juga Behar), di mana
sejak saat itu kota Pavapuri mrnjadi pusat ziarah para penganut agama Jain. Di
tengah-tengah tempat ziarah didirikan sejumlah kuil. Dalam kuil utama di kota
ini ditemukan cap kaki Mahavira yang dianggap sakral. Hari Diwali, peringatan
tahunan pencerahan agama Hindu, dijadikan hari ziarah di kota tersebut, karena
diduga pada hari itu pula Mahavira berhasil mencapai nirvana.[30]
C. Konsep Tentang
Ketuhanan
Pada
hakikatnya, agama Jain menolak adanya Tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau
penguasa di dunia. Namun menurut Hut Chison, paham Jainisme tidak termasuk
ateis, melainkan nonteisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak agama Jain
dalam memahami Tuhan. Sebenarnya, agama Jain tidak sepenuhnya menafikan
keeradaan Tuhan, mereka mengakui keberadan Dzat yang disebut sang "Maha
Kuat", namun menurut mereka, sang Maha Kuat tersebut termasuk pula
manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada
kesempatan untuk melarikan diri darinya.[31]
Lebih
lanjut para ahli agama mengkaji alasan penolakan Jainisme terhadap apa yang
disebut Tuhan, di antaranya: pertama, Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak
penting, karena manusia dengan kekuatannya sendiri mampu mencapai kelepasan.
Kedua, tuhantuhan dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip irasional, sebagaimana
penyataan Mahavira di atas. Ketiga, latar belakang krisis politik dan sosial,
pada masa akhir zaman Brahmanisme dan permulaan Upanishad terjadi krisis
politik dan moral yang menggoyahkan dan membingungkan pemikiran orang India
sehingga kepercayaan terhadap para dewa menjadi merosot, dan sebagai gantinya
mencari pegangan baru. Keempat, pentingnya upacara korban dan dominasi
kedudukan para Brahmana. Upacara korban dipakai sebagai alat pemaksa para dewa
untuk menyenangkan manusia dan diyakini menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan
atas dunia sekarang, atau dunia nanti (akherat), dunia yang tampak dan yang
tidak, dunia yang bernyawa. Keyakinan ini menunjukkan bahwa para dewa disurbordinasikan,
direndahkan derajatnya dibawah pengaruh manusia. Selanjutnya kaum Brahmana
(pendeta) sebagai pemegang otoritas yang menentukan upacara korban sempurna
atau tidak, menunjukkan dominasi wewenang yang melanggengkan sistem kasta,
sistem oo terjadi perkembangan penafsiran mengenai konsep Tuhan, alam gaib
beserta kodrat-kodrat gaib.[32]
D. Etika Penganut
Agama Jain
Penganut
agama Jain terdiri atas beberapa unsur, yaitu pendeta, biara, dan orang
kebanyakan. Dalam ajaran agama ini, ada lima disiplin spiritual yang harus
dijalankan. Bagi kalangan pendeta, disiplin ini dijalankan sangat ketat, kaku
dan fanatik. Sementara untuk kalangan umum atau masyarakat kebanyakan, prisnsip
ini terlalu ketat dan bisa dimodifikasi.[33]
Untuk
para pendeta, ada lima sumpah yang disebut "sumpah besar"
(maha-vrta), sedangkan bagi orang umum disebut "sempah kecil"
(anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah sebagai berikut:
- ahimsa (non kekerasan)
- satya (kebenaran di dalam pikiran)
- asteya (tidak mencuri)
- brahmacharya (pantang menuruti kehendak hawa nafsu, baik pikiran, perkataan, maupun perbuatan)
- aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan perbuataan).[34]
Bagi kalangan penganut
agama Jain yang awam, ada dua belas aturan yang semula berasal dari peraturan
pendeta. Kedua belas aturan tersebut adalah:
- Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk yang memiliki indra.
- Tidak pernah berbohong
- Tidak mencuri
- Tidak berzina
- Tidak tamak
- Menghindari godaan-godaan
- Membatasi jumlah barang yang dipakai sehari-hari
- Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan.
- Menjaga periode-periode meditasi yang telah dicapai
- Mngamati periode-periode penolakan diri
- Memanfaatkan periode-periode kesempatan menjadi pendeta
- Memberi sedekah
Selain menjalankan kedua belas aturan tersebut, masyarakat
awam juga harus memegang danmenjalankan prinsip ahimsa. Caranya ialah dengan
melakukan diet vegetarian, dan selanjutnya tidak memakan telur.[35]
E. Ibadah dan Ajarannya
1. Ibadah Harian
Penganut
agama Jain juga taat melaksanakan ibadah harian, yakni menyembah terhadap
berhala. Dalam penyembahan berhala ini ada tiga tingkatan yakni puja, vandan
kirtan, dan aarti.
a. Puja, puja saat melakukan penyembahan
ini ada delapan macam, yaitu:
- Jala (air) puja: air melambangkan laut.
- Chandan (sandal kayu) puja: chandan melambangkan pengetahuan (jnan).
- Pushpa (bunga) puja: bunga melmbangkan perilaku, cinta, dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup.
- Dhup (dupa) puja: dhup melambangkan kehidupan pertapa.
- Deepak (candle) puja: nyala deepak merupakan kesadaran murni atau jiwa tanpa perbudakan atau jiwa dibebaskan.
- Akshat (beras) puja: beras rumah tangga merupakan jenis biji gandum, yang non-subur.
- Naiveda (manis) puja: naiveda melambangkan makanan yang lezat.
- Fal (buah) puja: buah melambangkan moksa atau kebebasan.[37]
b. Vandan Kirtan
Ibadah
harian selanjutnya ialah melakukan vandan kirtan. Setelah menyembah terhadap
berhala dilakukan, lalu seseorang melakukan bahv puja, membaca studi, melakukan
chaitya vandan, dan lan sebagainya. Semua upacara ini akan menyebabkan rasa
senang, dan hati akan mengalami suka cita.[38]
c. Aarti
Biasanya, ibadah aarti dilakukan
pada malam hari. Hal ini melambangkan kegembiraan setelah melakukan semua kegiatan
agama di kuil. Selain itu, ibadah ini dapat menghancurkan semua karma dan
membawa kebahagian hidup.[39]
2. Puja Khusus (Poojas)
Ada
beberapa puja khusus yang harus
dilakukan oleh penganut agama Jain, diantaranya ialah sebagai berikut:
a. Snatra puja. Ritual ini melambangkan thirtankara
yang mandi di Gunung Meru bersama para dewa dan dewi. Biasanya, poojas
dilaksanakan sebelum melakukan puja, pujaan, perayaan ulang tahun, pembukaan
usah baru, pindah rumah dan lain sebagainya.
b. Panch kalyanak puja. Puja ini memperingati lima
peristiwa besar dalam kehidupan para thirtankara.bkelima peristiwa itu adalah
konsepsi, kelahiran, penolakan, kemahatuhanan dan moksa.
c. Antaray karma puja. Ada delapan poojas
sangat mirip dengan Ashta prakari pooja. Dalam poojas disebutkan tentang
bagaimana orang yang berbeda menciptakan antraykarmas, dan mereka mampu
menghapus hambatan tersebut setelah melakukan poojas ini.
3. Pujan
Pujan adalah sebuah ritual panjang
yang hampir berlangsung sepanjang hari, serta dilakukan oleh orang-orang yang
sangat terpelajar dan melibatkan banyak orang dalm upacara ini. Biaanya,
upacara ini dilakukan saat upacara pembukaan candi baru, penebusan dosa khusus
seseorang dan lain sebagainya.
4. Ibadah Puasa
Puasa
merupakan salah satu ibadah yang dilakukan oleh para penganut agama Jain.
Biasanya, ibadah ini dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti hari raya.
Puasa lebih sering dilaksanakan oleh kaum wanita dibandingkan dengan prianya.
Mereka menjalankan ritual berpuasa sebagai bentuk penebus dosa, ini biasanya
dilakukan oleh para pendeta.
Ada
beberapa jenis puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Jain, di antaranya ialah
sebagai berikut:
- Puasa penuh, yaitu tidak makan dan minum secara penuh dalam jangka waktu tertentu.
- Puasa sebagaian, yaitu makan lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk mencegah rasa lapar.
- Vruti sankshepa, ini aalah jenis puasa dengan hanya membatasi jenis makanan yang dikonsumsi.
- Rasa parityaga, puasa ini adalah dengan menghindari makanan yang disenangi.
- Puasa agung, puasa ini merupakan salah satu jenis puasa yang dilakukan oleh Mahavira. Biasanya, beberapa pendeta Jain berpuasa selama berbulan-bulan.[40]
Misalnya melaksanakan
puasa sampai 6 bulan. Bahkan saat ini, masih ada yang berpuasa lebih dari 6
bulan, seperti Hira Ratan Manek. Selain itu, berpuasa sampai setahun penuh
pernah dilakukan oleh Sri Sahaj Muni Maharaj, yang mengakhiri puasa selama 365
hari pada 1 Mei, 1998.[41]
Selain beberapa jenis puasa tersebut, ada sebuah ritual puasa
yang cukup ekstrem yang dilakukan oleh penganut agama Jain. Puasa ini disebut
puasa santhara dan sallenkhana. Dalam ritual ini, seseorang berpuasa hingga
ajal menjemputnya, ia benar-benar berhenti makan dengan maksud untuk menyiapkan
kematiannya. Namun, puasa ini berbeda dengan bunuh diri, karena tidak dilandasi
oleh perasaan marah atau emosi, tetapi dilakukan bila tubuh tidak mampu lagi
melayani pemiliknya sebagai alat spiritualitas. Tujuannya ialah untuk
membersihkan badan dan menyingkirkan semua keinginan yang bersifat fisik dan
pikiran. Seperti halnya menghentikan makan dan minum sehingga ia bisa
memusatkan pikiran ke arah spiritual menyongsong kematian.[42]
F. Kitab Suci
Kitab
suci agama Jain adalah Siddhanta, bermakna pembahasan, disebut juga Agamas,
berarti perintah, ajaran, pimbingan, disusun dalam bahasa Ardhamagadhi. Isi
kitab Jain terdiri 12 Angas (bab), dibagai menjadi empat belas Purwa, lima
Prakarana dan literatur sutra. Menurut Jainisme, kitab yang orisinal sejak
zaman Thirtankara yang pertama terdiri dari dua buah buku suci, yaitu 14 Purwa
dan 11 Anga. Kesebelasan Anga terdiri dari 45 teks. Selain itu terdapat pula 12
Upanga, sepuluh Painna (Prakirna), enam Chhedddasutra, Nandi dan Anuyogadvara
serta empat Mulasutra.[45]
Mengenai jumlah Angas
yang menjadi bagian kitab suci, terdapat perbedaan pandangan di antara
sekte-sekte Jain. Sekte Digambara mengakui 80 buah Angas, Sekte Svetambara
mengakui 45 buah Angas, dan Sekte Sthanavaksi, hanya mengakui 33 buah Angas.
Semua para Jain menyebarkan ajarannya secara lisan, begitu pula Mahavira.
Sepeninggalan Mahavira (599-527), kurang lebih abad ke-4 SM, barulah
ajaran-ajaran Mahavira disusun dan dihimpun secara tertulis.[46]
Pada
waktu itu, para pemuka agama Jain berkumpul di kota Paleopatra untuk
mendiskusikan perihal kodifikasi khutbah-khutbah Mahavira, namun usaha tersebut
belum membuahkan hasil, karena masih berselisih tentang sebagian sumber dari
khutbah-khutbah tersebut. Oleh karena itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda
sampai tahun 57 M dan akhirnya, dibubukan sebagaian naskah yang didapatkan
setelah cukup banyak kehilangan. Pada abad ke-5 M, diselenggarakan pertemuan
lain di kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan
Jainisme yang dianggap suci. Pertama, ditulis dalam bahasa Ardaha Majdi,
kemudian ditulis dengan bahasa Sanskerta.[47]
Pada
tahun 1625 M, disusun sebuah ensiklopedia Jainisme oleh Vinaya Vijaya, anak
laki-laki Tejapala, dengan nama Lokaprakasa dengan menggunakan bahasa
Ardhamagadhi (dialek campuran wilayah Magadha, Behar modern), yang sering
disebut Apabhramsa atau Jain-Prakrt, bentuk bahasa Sanskrit yang telah rusak.[48]
Perbedaan pengakuan jumlah Anga di antara sekte Jain,
melahirkan perselisihan di antara sekte tersebut. Sekte Digambara menganggap
sekte Svetambara telah menyimpang dan mengingkari Kanon otentik yang disusun
Sthulabhara yang kemudian direvisi dan ditulis kembali berdasarkan konsili yang
dilaksanakan di Valabhi, Saurashtra pada abad ke-5 M. Digambara juga mengklaim
Tattvarthadigamasutra karya Umasvati, sebagai milik sekte Digambara. Adapun
literature Jainisme yang digunakan oleh sekte Svetambara berbahasa Jain-Prakrt,
sebagai berbentuk prosa, sebagian berbentuk puisi, sebagian berasal dari zaman
Mahavira, dan sebagiannya dari zaman setelahnya.[49]
G. Sekte di Dalam
Agama Jain
Sekitar
tahun 310 sebelum Masehi terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam
kalangan agama Jaina itu, yakni lebih kurang tiga abad sepeninggalan Mahavira
(599-527 SM). Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India Utara. Sebanyak
12.000 orang dari jemaat Jaina itu, dibawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan
perpindahan menuju belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah
Mysore.[50]
Dengan
begitu jemaat Jaina itu telah terpecah dua, yaitu belahan Utara dan belahan
Selatan. Belahan Utara itu beriklim dingin dan belahan Selatan beriklim panas.
Di dalam wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan
jemaat Jaina pada belahan Utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni
hidup secara asketik.[51]
Sekitar
tahun 82 Masehi barulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah
pakaian. Jemmat Jaina yang mendiami wilayah pada belahan utara pegunungan
Vindaya, yang bersuhu sejuk itu, selalu mengenakan pakaian putih. Jemaat Jaina
itulah yang dipanggil dengan sekte Svetambara, yakni jemaat berpakaian putih.[52]
Masalah
pakaian itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara
kedua sekte. Sekte Digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira di dalam
pengembaraannya, yang tiada ambil mumet dan tiada ambil peduli terhadap
kebutuhan duniawi.
Tetapi semenjak abad ketujuh Masehi, yakni semenjak anak
benua India itu berada di bawah kekuasaan Islam, maka anggota jemaat Digambara
itu mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan cawat.
H. Reformasi
dalam agama Jaina
Persentuhan
agama Jaina dengan agama Islam pada anak benua India itu lambatlaun menimbulkan
pengaruh dalam lingkungan agama Jaina itu. Pada tahun 1474 Masehi lahir suatu
sekte baru, yang dipanggilkan sekte Sthanavaksi, muncul dari lingkungan sekte
Svetambara pada belahan India Utara.
Sekte
Sthanavaksi itu merupakan gerakan reformasi dalam agama Jaina, yakni gerakan
pembaharuan. Mereka berikhtiar mendalami dan menyelidiki kitab suci Siddhanta,
lalu memisahkan Angas yang dapat dipandang otentik dan Angas yang dipandang
susunan pada masa belakangan.[53]
Di
dalam Angas yang dipandang otentik itu tidak dijumpai pemujaan terhadap patung
dan berhala. Justru kuil-kuil yang menjadi milik jemaat Sthanavaksi itu, sampai
pada masa sekarang, tidak berhiaskan patung apapun juga.[54]
Perbedaan antara sekte Digambara dan
Svetambara, yaitu :
- Sekte Digambara, pendeta yang sempurna kalau pergi tidak boleh membawa bekal makanan apa pun; sekte Svetambara, membolehkannya.
- Sekte Digambara, pendeta tidak memiliki apa-apa, berpergian tanpa pakaian; sekte Svetambara, membolehkannya.
- Sekte Digambara, pencerahan jiwa tidak mungkin dapat dicapai oleh wanita, tidak memiliki pendeta wanita; sekte Svetambara, meyakini mallinata, tirthankara ke-19 ialah wanita, dapat menerima pendeta wanita.
- Sekte Digambara, patung-patungnya telanjang, digambarkan mati terhadap keinginan dunia dengan mata kesedihan; sekte Stevambara, patungnya memiliki mata gelas dalam marmer, diberi cawat dan dihiasi dengan permata.
- Sekte Digambara, mempersembahkan cengkeh, kelapa kering, gula, beras kepada patung-patungnya sebagai persembahan; sekte Stevambara mempersembahkan bunga-bunga segar dan buah-buahan.
- Sekte Digambara tidak memiliki patung pribadi di rumah; sekte Stevambara memiliki kuil keluarga.[55]
Persamaan dan Perbedaan agama Jain, agama Budha, dan
agama Hindu.
- Persamaan :
- Konsep ketuhanan : Sama-sama kedua agama ini tidak mengakui tuhan ataupun dewa sebagai pencipta.
- Kehidupan dunia : Agama Jain dan agama Buddha sama-sama membahas tentang Dukha.
- Kelahiran kembali : Agama Jain dan agama Hindu membahas Reinkarnasi (kelahiran kembali yang terus-menerus) karena jiwa masih terbelenggu oleh benda-benda karma.
- Tujuan hidup : Agama Jain dan agama Hindu membahas tentang Moksa.
- Perbedaan :
- Konsep ketuhanan : Agama Hindu berbicara mengenai mempercayai dewa sebagai pencipta, yaitu Dewa Wisnu.
- Alam kehidupan manusia : *Jain: Alam sudah ada sejak zaman azali
*Buddha: Alam
terjadi menurut hukum pattica sammapada
*Hindu : Alam diciptakan
- Kehidupan dunia : Agama Hindu membahas tentang Awidya (ketidaktahuan)
- Karma :*Jain: Karma terjadi karena bercampurnya jiva dengan ajiva
*Buddha: Karma
adalah perbuatan baik dan jahat yang dilakukan oleh seseorang melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran yang disertai dengan cetana (khendak atau niat)
*Hindu: Karma
adalah akibat pahala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma
- Kelahiran kembali : Agma Buddha menyebutnya Punarbhava
- Tujuan hidup : dalam agama Buddha, Nibbana yaitu terbebasnya segala dukha, berakhirnya rantai kehidupan, perniagaan keinginan, dendam, dan kebodohan.
- Peribadatan: Jain: Hidup asketik
*Buddha
: Mengamalkan sila, samadi, dan pana
*Hindu:
Upacara dan Yadnya
- Orang suci Jain: Tirthankara
*Buddha :
Bodhisatwa atau arahat
*Hindu : Rsi
atau Muni
- Mencapai moksa atau Nibbana:*Jain : Pengendalian badan dan jiwa melalui hidup asketi
*Budhha: mengikuti drlapan jalantengah yang diajarkan Buddha Gautama
*Hindu
: menjalankan upacara Yadnya.[56]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Jain,
sebagaimana agama Buddha muncul sebagai penolakan terhadap otoritas kemutlakan
weda dan reaksi atas ajaran Brahmanisme yang sangat ekstrem, terutama sistem
kasta dan dominasi kalangan Brahmana. Sejarah kehidupan Mahavira hampir mirip
dengan Sirdharta Buddha Gautama, termasuk perjalan rohani antara keduanya.
Masing-masing melakukan pencarian kebenaran, karena sama-sama tidak percaya
adanya pertolongan dari pemujaan terhadap patung, dewa, otoritas pendeta. Keduanya
mendapat kesadaran tentang keselamatan yang hanya akan datang kepada orang yang
mempunyai kepercayaan yang benar, pengetahuan yang benar dan tingkah laku yang
benar. Perbedaan keduanya, kalau Sidharta memakai delapan jalan tengah untuk
mencapai tujuannya, sementara Mahavira dengan melakukan pertapaan (asketisme)
yang sangat keras dan ketat. Bahkan salam kehidupan keseharian umat awam pun
begitu banyak larangan-larangan, sampai menginjak cacing, memotong rumput dan
membunuh binatang-binatang kecil yang mengganggu pun tidak dibolehkan. Mahavira
menyakini bahwa berpantangan diri dan penyiksaan diri akan mencapai hidup baik
dan dapat mengembalikan jiwa pada hakikatnya.
B. Saran
Kami
menyarankan kepada mahasiswa seluruhnya khususnya kepada mahasiswa Islam, agar
kita mempelajari banyak ilmu khususnya ilmu tentang Islam. Supaya pemikiran
kita tidak mudah terombang-ambing oleh arus pemikiran di zaman sekarang ini.
Dan juga supaya akidah kita tidak terombang-ambing oleh pemikiran yang kurang
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Sou'yb, Joesoef. 1996. AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA.
Jakarta: PUSTAKA ALHUSNA
Al-Maghlouth, Sami bin Abdullah. 2011. ATLAS AGAMA-AGAMA.
Jakarta: Almahira.
Nadroh, Siti & Azmi, Syaiful. 2013. AGAMA-AGAM MINOR.
Cet. 1. Jakarta: UIN JAKARTA PRESS.
Imron, Muhammad Ali. 2015. SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI
DUNIA. Yogyakarta: IRCiSoD
Nadroh, Siti & Azmi, Syaiful. 2015. Agama-Agama Minor.
Ed. 1. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Romdhon, dkk. 1988. AGAMA-AGAMA DI DUNIA. Yogyakarta:
IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.
[7] https://www.google.com/search?client=firefox-b&biw=1280&bih=896&tbm=isch&sa=1&q=agama+jain&oq=agama+jain&gs_l=psy-ab.3..0l3j0i30k1j0i8i30k1j0i24k1l4.159137.163705.0.164080.24.18.0.0.0.0.127.1484.8j8.16.0....0...1.1.64.psy-ab..13.10.1025...0i67k1.0.LkQyZGifVVw#imgrc=7jZVTMaex9G7NM:
[10] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hal. 122
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hal. 121-123.
[13]https://www.google.co.id/search?dcr=0&biw=1366&bih=627&tbm=isch&sa=1&q=mahavira&oq=mahavira&gs_l=psy-ab.3...2160376.2166577.0.2166844.33.16.0.0.0.0.0.0..0.0....0...1.1.64.psy-ab..33.0.0....0.CA_vCBlrSTs#imgrc=WqT89StmwvZOwM:
[15]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 124
[17]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 124
[19] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hal. 124
[21] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 126
[22] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hal. 126
[24]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA
GROUP, 2015), hal. 126
[27]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 127
[32]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, AGAMA-AGAMA MINOR, Cet. 1, (Jakarta: UIN
JAKARTA PRESS, 2013), hal. 68-69.
[36]
https://www.google.com/search?client=firefox-b&biw=1280&bih=896&tbm=isch&sa=1&q=kuil+agama+jain&oq=kuil+agama+jain&gs_l=psy-ab.3...26981.29425.0.30236.5.5.0.0.0.0.195.426.2j2.4.0....0...1.1.64.psy-ab..1.1.194...0i13k1j0i13i30k1j0i8i13i30k1.0.3NVr6t85HdA#imgrc=Y_orm3KQ__jECM:
[40] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hal 152-153
[43] https://www.google.com/search?client=firefox-b&biw=1280&bih=896&tbm=isch&sa=1&q=kitab+shidanta&oq=kitab+shidanta&gs_l=psy-ab.3...289353.298641.0.299239.27.20.0.0.0.0.114.1486.16j3.19.0....0...1.1.64.psy-ab..12.9.859...0j0i67k1j0i30k1j0i8i30k1j0i8i10i30k1j0i10i24k1.0.XIPg0ajOhS0#imgrc=ljcUC6cVYGBESM:
[44]https://www.google.com/search?client=firefox-b&biw=1280&bih=896&tbm=isch&sa=1&q=kuil+agama+jain&oq=kuil+agama+jain&gs_l=psy-ab.3...26981.29425.0.30236.5.5.0.0.0.0.195.426.2j2.4.0....0...1.1.64.psy-ab..1.1.194...0i13k1j0i13i30k1j0i8i13i30k1.0.3NVr6t85HdA#imgrc=Y_orm3KQ__jECM:
[46]Siti
Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 130
[49]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, AGAMA-AGAMA MINOR, Cet. 1, (Jakarta: UIN
JAKARTA PRESS, 2013), hal. 66-67
[50] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama
Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hal. 154
[56]
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 160-161
Komentar
Posting Komentar