Makalah Agama Jain


REVISI
MAKALAH
AGAMA-AGAMA DI DUNIA (AGAMA JAINA)
 
 Dosen pembimbing :
   Siti Nadroh, MA.
 
 
Penyusun :
·        Muslimatun Hasanah   (11160360000027)
·        Asrofi                            (11160360000006)
·        Abi Maulana Rizky      (11160360000004)
 
 
MATA KULIAH AGAMA-AGAMA DUNIA
PROGRAM STUDI ILMU HADITS (A)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
 
 

KATA PENGANTAR
 
بسم الله الرحمن الحيم
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas izin dan karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tak lupa shalawat dan salam kami hanturkan kepada junjungan alam, Nabi besar Muhammad Saw yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang sekarang ini. Begitu juga kepada keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga sekarang. Aminn,..
            Rasa terima kasih kami hanturkan kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami sehingga kami bisa menyusun makalah ini yang berjudul "Agama Jain", yaitu Ibu. Siti Nadroh, MA. Semoga Allah SWT selalu merahmati beliau dan selalu memberikan kesehatan kepada beliau. Amin,..
            Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari ketidak sempurnaan dan banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangn dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
 
 
 
Wasalamu'alaikum
 
 
Tim Penulis
 
 
 DAFTAR ISI
 
Kata Pengantar …………………….……………………………………. ii
Daftar Isi ……………………………….………………………………….iii
 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………...……………………………..1
B. Rumusan Masalah ……………...…………………………………...…..2
C. Tujuan ………………………………………………………...…………2
 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Agama Jain ……………………………………...………………3
B. Pembawa agama Jain ……………………………….……….…………..6
C. Konsep Tentang Ketuhanan ……………………………..….…………..7
D. Etika Penganut Agama Jain ……………………………..….…..………11
E. Ibadah dan Ajarannya ………………………………………...…………13
F. Kitab Suci Agama Jain ………………………………………...………..16
G. Sekte Di Dalam Agama Jain …………………………………..………..18
H. Reformasi Di Dalam Agama Jain ……………………………...……….19
 
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..22
B. Saran …………………………………………………….………………22
 
Daftar Pustaka ……………………………………………………..……..23



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

          Sekitar abad ke-6 SM, di India tumbuh subur bermacam-macam kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan, yang kemudia melahirkan beberapa tokoh besar, salah satunya ialah Mahavira. Tokoh inilah yang mempopulerkan dan menyebarkan ajaran bahwa kehidupan dunia ini sengsara, hidup di dalamnya adalah suatu neraka, serta perubahan dan kelenyapan adalah asas kehampaan dan puncak penderitaan. Dalam ajarannya, Mahavira juga meyakini adanya pengulangan kelahiran dan menyeru berzuhud sebagai suatu jalan untuk menyelamatkan diri. Ajaran ini kemudia dikenal dengan Jainisme.[1]

          Agama Jain atau Jainisme merupakan agama monastik kuno yang lahir dan berkembang di India. Ajaran ini mulai diakui keberadaannya di Magadha, sebuah kawasan di India Utara, sekitar abad ke-6 dan ke-5 SM melalui ajaran yang disebarkan oleh Mahavira. Mahavira dikenal sebagai nabi Jainisme, bukan penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Mahavira dianggap bukan yang paling dahulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme. Namun, diakui bahwa diantara sekian banyak tokoh suci yang menyebarkan paham Jainisme, Mahavira adalah yang paling akhir turun ke dunia, sehingga ia dianggap sebagai penyempurna ajaran-ajaran agama Jain.[2]

          Adapun tujuan tertinggi ajaran-ajaran agama Jain pada hakekatnya adalah untuk mencapai kesempurnaan absolut dari kehakikian manusia, yakni pembebasan diri dari segala macam penderitaan dan kungkungan atau belenggu. Oleh karena itu, tidak heran kalau ada sarjana yang mengatakan bahwa Jainisme dapat disebut sebagai suatu agama tentang manusia sempurna. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut, agama Jain mendorong para penganutnya untuk hidup dengan penuh kesederhanaan, yang diwujudkan dalam bentuk praktek-praktek asketik atau pertapaan. Hidup semacam ini merupakan usaha untuk mencapai kehidupan yang abadi. Barangkali, pratek-pratek asketik yang masih angat ditekankan tersebut merupakan akibat dari masi kuatnya pengaruh ajaran Brahmanisme. Agama tersebut berjalan atas dasar paham-paham populer tentang karakter yang lebih primitif dan kasar, seperti pemakaian ide-ide animistis, sebagaimana nampak jelas dalam uraian tentang jenis-jenis makhluk. Berbeda dengan paham aliran Sankhya, yang berusaha menjelaskan perkembangan dunia materi dan makhluk-makhluk hidup berdasarkan prinsip dualisme purusa dan prakrti. Jainisme hampir-hampir terlibat secara ekslusif pada makhluk-makhluk yang hidup saja, dan menyatakan bahwa sebab terjadinya dunia materi dan struktur alam semesta adalah karena lokasthiti, pembawaan dahulu kala.[3]

B.        Rumusan Masalah

  1. Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Jain ?
  2. Bagaimana konsep ketuhanan di dalam agama Jain ?
  3. Bagaimana sikap atau etika para penganut agama Jain ?
  4. Bagaimana para penganut agama Jain beribadah dan bagaimana ajarannya ?
  5. Apa kitab suci agama Jain dan ditulis dalam bahasa apa ?
  6. Adakah sekte dalam agama Jain ?

C.        Tujuan

  1. Mengetahui sejarah dan perkembangan agama Jain
  2. Mengetahui konsep ketuhanan para penganut agama Jain
  3. Mengetahui sikap dan etika para penganut agama Jain
  4. Mengetahui para penganut Jain beribadah
  5. Mengetahui kitab suci agama Jain dan bahasanya
  6. Mengetahui sekte-sekte yang berada di dalam agama Jain
 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Sejarah Agama Jain

   [4]       [5]

[6]         [7]

            Agama Jain atau Jainisme muncul di Magadha, India Utara pada zaman Wiracarita, masa akhir zaman Brahmana sekitar abad ke-6 SM. Sebagaimana agama Buddha, Jainisme menolak otoritas kesakralan Weda dan reaksi terhadap ekstremitas praktik-praktik keagamaan Hindu, di antaranya sistem kasta, upaca korban, pemujaan terhadap dewa, dan otoritas kaum brahmana. Buddhisme dan Jainisme dipandang sebagai dua cabang besar ajaran heterodoks dan Hinduisme (Zaehner, 1992: 65). Jainisme dibuat sebagai gerakan protes terhadap upacara Veda dan juga penerapannya.[8]

            Istilah Jain berasal dari kata Jina dari bahasa Sansekerta, yang berarti "pemenang" atau yang "mengalahkan". Yang dimaksud adalah berhasil mengalahkan, atau mengatasi secara tuntas kungkungan atau belenggu penyakit dan penderitaan dalam kehidupan. Orang seperti ini disebut sebagai Jaina, pemenang.[9]

            Agama Jain dipandang sebagai agama kuno, berasal dari Maha Penakluk (Maha Jaina), yang menjelma di bumi untuk memberikan bimbingan kepada manusia, sejak berjuta-juta tahun yang lalu, dan terus berlangsung sampai 24 kali penjelmaan. Penjelmaan pertama (penakluk pertama) bernama Adinath dan yang ke-24 (penakluk terakhir) ialah Vardhamana, yang mendapat panggilan Mahavira.[10]

            Oleh karena itu Mahavira lebih dikenal sebagai Nabi Jainisme, bukan pendirinya. Mahavira dipandang bukan yang paling dahulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme, karena sudah didahului oleh urutan Tirthankara, "jiwa sempurna" yang muncul setiap zaman dan Mahavira ialah yang paling akhir turun ke dunia ini, setelah pendahulunya Parspanatha (Pasuanath) yang dilahirkan pada abad ke-9 SM dan meninggal pada abad ke-8 SM dan Neminatha, yang diduga mendahului Parsvanatha, meninggal dunia kira-kira 5.000 tahun sebelmunya.[11]

           

 

 

Kedua puluh empat Tirthankara yang diyakini telah menyebarkan agama Jain ke dunia yaitu:

  1. Rsba (Vrsabha), sapi jantan, emas.
  2. Ajita, gajah emas.
  3. Sambhava, kuda emas.
  4. Abhinandana, kera emas.
  5. Sumati, burung bangau emas.
  6. Padmaprabha, bungan teratai merah.
  7. Suparsva, swastika emas.
  8. Chandrapabha, bulan putih.
  9. Suvidhi (puspadanta), ikan lumba-lumba putih.
  10. Sitala, berupa srivatsa emas.
  11. Sreyamsa (Sreyan), badak emas.
  12. Vasupujya, kerbau merah.
  13. Vimala, babi emas.
  14. Ananta (Anatajit), burung elang emas.
  15. Dharma, halilintar emas
  16. Santi, kijang emas.
  17. Kunthu, kambing emas.
  18. Ara, berupa nandyavarta emas.
  19. Malli, kendi biru.
  20. Suvrata (Manisuvrata), kura-kura hitam.
  21. Nami, teratai biru emas.
  22. Nemi (Aristanemi), kulit kerang-kerangan hitam.
  23. Parsva, ular biru.
  24. Vardhamana, harimau emas.

Semua Tirthankara dari golongan ksatria, Munisuvrata dan Nemi keturunan Harivamsa, sedangkan ke-23 dan ke-24 dari keturunan ras Ikhsvaku.[12]

 

 

 

B. Sejarah Pembawa Agama Jain


 

            Nataputta Vardhamana (599-527 SM), ia berasal dari keluarga pimpinan ksatria dari klan Naya. berayah Raja Shriyama dan ibunya Permaisuri Devanada dari kerajaan Moghadah, di sebelah utara India, dengan ibukota Vaisali (Behar), tepatnya di kampung Basarh, kira-kira 27 mil di sebelah utara kota Patna.[14] Umat Jain biasa memanggilnya Mahavira, nama yang diyakini diucapkan para dewa.

            Vardhamana dipanggil Mahavira itu sendiri menurut legenda ketika sedang bermain-main di kebun istana, ada seekor gajah terlepas dari kandangnya dan mengayunkan belalainya dengan marah. Tidak ada seorang pun yang berani menangkap dan menjinakkan gajah itu. Vardhamana yang saat itu berusia tujuh tahun, memegang belalai gajah dan merangkak menaiki gajah tersebut serta mengendalikannya untuk kembali ke kandang. Ketika peristiwa besar itu tersiar, semua memuji keberanian pangeran muda Vardhamana dan sejak saat itu diberi julukan Mahavira, "pahlawan besar".[15]

            Ketika Mahavira berusia dua belas tahun, dipakaikan benang suci sebagaimana kebiasaan umat Hindu, mengambil sumpah setia kepada agama ayahnya, dan dikirim kepada padri untuk belajar kitab agama Hindu beberapa tahun lamanya. Dalam cerita lain disebutkan pada usia sebelas tahun, sesuai tradisi Hindu menjalani hidup sebagai Brahmacharya, kewajiban mempelajari agama Hindu, dan pada usia delapan belas tahun berhasil lulus dan memperoleh tanda suci (sacred cord) dalam upacara Upanayama, kelahiran kedua (Dvija) bagi golongan kasta atas.[16] Pada tahap Grihasta, tahap berumah tangga, dikawinkan dengan Putri Yoshandha, dan hidup selama sepuluh tahun dengan bahagia dan memperoleh seorang putri bernama Anoja.[17]

            Ketika Mahavira berusia 28 tahun kedua orangtuanya meninggal, bukan karena sakit atau usia tua, melainkan karena lapar. Pada zaman itu di tanah India, menurut ajaran keagamaan Hindu bahwa kematian karena lapar adalah kematian yang suci (holy death).[18] Raja Shriyama dan Ratu Devananda sebagai penganut agama yang taat, telah melaparkan badanya sehingga memperoleh kematian yang suci.

Mahavira melakukan perjalanan mengembara sebagai seorang fakir dan hidup mengemis. Kebanyakan waktunya dihabiskan di hutan, di atas gunung, termenung memikirkan ajaran-ajaran agama yang ada di dalam kitab Hindu. Dia tidak memperdulikan sakit-senang, suka-duka, lapar-haus, segala macam derita dan kesengsaraan. Dua belas tahun lamanya berjalan kesana kemari tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mahavira haus kebenaran, ingin mengetahui hakikat hidup. Berusaha memikirkan jalan untuk mengubah serta memperbaiki agama bangsanya.[19]

            Selama dua belas tahun menjalani latihan fisik, mental, dan rohani, dan pada tahun ke-13 dari masa pertapaannya, ia berhasil memperoleh pengetahuan agung yang disebut kevala.[20] Mahavira kemudian berusaha menyebarkan ajaran-ajaran pencerahannya, dari satu tempat ke tempat lainnya, berkhotbah tidak kenal lelah. Banyak ajarannya yang tidak asing lagi bagi orang yang mendengar, karena ajaranya itu bagian dari agama Hindu, atau perbaikan-perbaikan yang telah disiarkan sebelum Mahavira. Hanya sebagian dari pemikiran Mahavira yang sebetulnya baru (Asal Mula, t.th: 46).

            Mahavira mengajak keluarga, kerabat, serta penduduk kota. Mahavira memberikan 55 khotbah dan menjawab 36 pertanyaan yang tidak ditanya. Mahavira berkhotbah bahwa hidup adalah penderitaan, mati penderitaan, tidak memperoleh apa yang diinginkan juga penderitaan. Penderitaan dunia datangnya dari keinginan. Manusia menderita karena karena menginginkan hal yang macam-macam dan keinginan akan selalu terus ada dan bertambah meskipun sudah mendapat banyak. Maka keinginan itulah yang menyebabkan penderitaan.[21]

            Mahavira mengajarkan bahwa kebebasan dari penderitaan manusia itu terpendam di dalam diri manusia itu sendiri. Kebebasan itu ialah kebebasan dari karma, yakni sebab-akibat dari tindak-laku manusia, dan kebebasan dari sasmara, yakni hidup berulang kali ke dunia yang semuanya itu merupakan derita. Manusia dapat memperoleh kebebasan atau keselamatan berdasarkan usahanya sendiri.[22]

Berikut adalah khutbah-khutbah Mahavira:

"kebebasan itu bukan dengan mempersembahkan korban sewaktu-waktu, dan bukan pula dengan mempersembahkan sesajen di depan berhala."

"Hai Manusia !! Anda adalah sahabat diri Anda sendiri. Mengapa Anda merindukan sahabat di luar Anda sendiri ?" (SBE, 22: 23)[23]

"Pelajarilah hukum penaklukan (law of Jaina) dari padaku. Curang, tamak, amarah, angkuh, seseorang yang bijaksana haruslah menghindarkan diri dari semua itu.. terompah, payung, dadu, bekerja melayani orang lain, saling bantu-membantu, seseorang yang bijaksana akan menghindarkan diri dari semuanya itu.. Jikalau seseorang dipukuli, janganlah dia marah, jikalau dinista janganlah naik pitam, dengan ingatan yang tenang, ia akan memperoleh segalanya, dan janganlah hiruk piruk." (SBE, 45: 301-305)[24]

"seorang rahib tidaklah harus marah, jikalau dipukul dan jangan senang dengan pikiran-pikiran yang salah. Mengenali kesabaran adalah kebijakan tertinggi. Seorang rahib mestilah merenungkan Hukum senantiasa." (SBE, 45: 12)

            Mahavira menjelaskan bahwa cinta maupun benci haruslah dihindari, karena kedua-duanya itu merupakan dorongan dan tarikan hasrat yang menjadi pangkal segala derita di dalam kehidupan manusia.

"Seorang rahib yang mencintai sesuatunya, maupun orang lain mencintainya, tidak akan membebaskan dari dosa dan dendam." (SBE, 45:32)

"Dengan menaklukkan cinta, benci, kepercayaa yang keliru, seseorang akan memutus mata rantai karma." (SBE, 45:172)[25]

"Mempelajari pengetahuan yang benar, menghindari kebodohan dan keabaian, memusnahkan cinta dan benci, seseorang akan mencapai Nirvana." (SBE, 45: 184)[26]           

Kemudian Mahavira menjelaskan: tidak percaya kepada kasta, tidak percaya bahwa pemujaan itu bermanfaat, atau orang-oarang yang melakukannya dapat berbuat baik.

            Pandangan-pandangan tersebut mengundang pertanyaan :

"Jika Anda tidak percaya kebenaran kasta, tidak percaya bahwa Brahmana yang menciptakan dunia, tidak percaya bahwa pengorbanan yang ditunjukkan kepada pemujaan atau do'a yang diucapkan bermanfaat, bagaimanakah seharusnya orang yang mencari pengampunan dosa, sehingga dapat memasuki nirvana ?"

            Mahavira menjawab :

"Bukan dengan persembahyangan, bukan dengan pengorbanan, bukan dengan memuja patung, orang akan dapat pengampunan dan dapat melakukan hidup baik. Hanya dengan diri sendiri berbuat baik orang dapat mencapai nirvana. Dalam diri sendiri terletak keselamatan."[27]

            Lebih jelas dan tegas, Mahavira mengajarkan jalan untuk mengakhiri penderitaan, yaitu dengan menghapus "keinginan". Bila orang telah dapat menghapus keinginan, ia baru dapat mempersiapkan diri untuk kebahagiaan jiwanya, yaitu nirvana. Jalan menuju nirvana melalui Tiga Mustika, yaitu:

  1. kepercayaan yang benar, yang merupakan puncak penyelamatan bagi penganut Jainisme. Dalam kepercayaan ini mereka harus percaya kepada para pemimpin Jain atau thirtankara yang 24.
  2. pengetahuan yang benar, keyakinan ini mengajarkan pengetahuan mengenai alam dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantaa keduanya.
  3. kelakuan yang benar, kelakuan ini mengajarkan agar penganut Jainisme memiliki akhlak yang baik, seperti melakukan kebaikan, meninggalkan keburukan, tidak membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan kecurangan, dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri.[28]

Mahavira terus menyeru masyarakat sampai menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 527 SM.[29] Pada usia 72 tahun mencapai nirvana di kota Pavapuri (juga Behar), di mana sejak saat itu kota Pavapuri mrnjadi pusat ziarah para penganut agama Jain. Di tengah-tengah tempat ziarah didirikan sejumlah kuil. Dalam kuil utama di kota ini ditemukan cap kaki Mahavira yang dianggap sakral. Hari Diwali, peringatan tahunan pencerahan agama Hindu, dijadikan hari ziarah di kota tersebut, karena diduga pada hari itu pula Mahavira berhasil mencapai nirvana.[30]

 

 

 

C.        Konsep Tentang Ketuhanan

            Pada hakikatnya, agama Jain menolak adanya Tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa di dunia. Namun menurut Hut Chison, paham Jainisme tidak termasuk ateis, melainkan nonteisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak agama Jain dalam memahami Tuhan. Sebenarnya, agama Jain tidak sepenuhnya menafikan keeradaan Tuhan, mereka mengakui keberadan Dzat yang disebut sang "Maha Kuat", namun menurut mereka, sang Maha Kuat tersebut termasuk pula manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri darinya.[31]

            Lebih lanjut para ahli agama mengkaji alasan penolakan Jainisme terhadap apa yang disebut Tuhan, di antaranya: pertama, Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak penting, karena manusia dengan kekuatannya sendiri mampu mencapai kelepasan. Kedua, tuhantuhan dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip irasional, sebagaimana penyataan Mahavira di atas. Ketiga, latar belakang krisis politik dan sosial, pada masa akhir zaman Brahmanisme dan permulaan Upanishad terjadi krisis politik dan moral yang menggoyahkan dan membingungkan pemikiran orang India sehingga kepercayaan terhadap para dewa menjadi merosot, dan sebagai gantinya mencari pegangan baru. Keempat, pentingnya upacara korban dan dominasi kedudukan para Brahmana. Upacara korban dipakai sebagai alat pemaksa para dewa untuk menyenangkan manusia dan diyakini menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan atas dunia sekarang, atau dunia nanti (akherat), dunia yang tampak dan yang tidak, dunia yang bernyawa. Keyakinan ini menunjukkan bahwa para dewa disurbordinasikan, direndahkan derajatnya dibawah pengaruh manusia. Selanjutnya kaum Brahmana (pendeta) sebagai pemegang otoritas yang menentukan upacara korban sempurna atau tidak, menunjukkan dominasi wewenang yang melanggengkan sistem kasta, sistem oo terjadi perkembangan penafsiran mengenai konsep Tuhan, alam gaib beserta kodrat-kodrat gaib.[32]

 

 

D.        Etika Penganut Agama Jain

            Penganut agama Jain terdiri atas beberapa unsur, yaitu pendeta, biara, dan orang kebanyakan. Dalam ajaran agama ini, ada lima disiplin spiritual yang harus dijalankan. Bagi kalangan pendeta, disiplin ini dijalankan sangat ketat, kaku dan fanatik. Sementara untuk kalangan umum atau masyarakat kebanyakan, prisnsip ini terlalu ketat dan bisa dimodifikasi.[33]

            Untuk para pendeta, ada lima sumpah yang disebut "sumpah besar" (maha-vrta), sedangkan bagi orang umum disebut "sempah kecil" (anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah sebagai berikut:

  1. ahimsa (non kekerasan)
  2. satya (kebenaran di dalam pikiran)
  3. asteya (tidak mencuri)
  4. brahmacharya (pantang menuruti kehendak hawa nafsu, baik pikiran, perkataan, maupun perbuatan)
  5. aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan perbuataan).[34]

Bagi kalangan penganut agama Jain yang awam, ada dua belas aturan yang semula berasal dari peraturan pendeta. Kedua belas aturan tersebut adalah:

  1. Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk yang memiliki indra.
  2. Tidak pernah berbohong
  3. Tidak mencuri
  4. Tidak berzina
  5. Tidak tamak
  6. Menghindari godaan-godaan
  7. Membatasi jumlah barang yang dipakai sehari-hari
  8. Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan.
  9. Menjaga periode-periode meditasi yang telah dicapai
  10. Mngamati periode-periode penolakan diri
  11. Memanfaatkan periode-periode kesempatan menjadi pendeta
  12. Memberi sedekah

Selain menjalankan kedua belas aturan tersebut, masyarakat awam juga harus memegang danmenjalankan prinsip ahimsa. Caranya ialah dengan melakukan diet vegetarian, dan selanjutnya tidak memakan telur.[35]

E.         Ibadah dan Ajarannya

                                      [36]

1. Ibadah Harian

            Penganut agama Jain juga taat melaksanakan ibadah harian, yakni menyembah terhadap berhala. Dalam penyembahan berhala ini ada tiga tingkatan yakni puja, vandan kirtan, dan aarti.

 

 

 

a. Puja, puja saat melakukan penyembahan ini ada delapan macam, yaitu:

  1. Jala (air) puja: air melambangkan laut.
  2. Chandan (sandal kayu) puja: chandan melambangkan pengetahuan (jnan).
  3. Pushpa (bunga) puja: bunga melmbangkan perilaku, cinta, dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup.
  4. Dhup (dupa) puja: dhup melambangkan kehidupan pertapa.
  5. Deepak (candle) puja: nyala deepak merupakan kesadaran murni atau jiwa tanpa perbudakan atau jiwa dibebaskan.
  6. Akshat (beras) puja: beras rumah tangga merupakan jenis biji gandum, yang non-subur.
  7. Naiveda (manis) puja: naiveda melambangkan makanan yang lezat.
  8. Fal (buah) puja: buah melambangkan moksa atau kebebasan.[37]

b. Vandan Kirtan

            Ibadah harian selanjutnya ialah melakukan vandan kirtan. Setelah menyembah terhadap berhala dilakukan, lalu seseorang melakukan bahv puja, membaca studi, melakukan chaitya vandan, dan lan sebagainya. Semua upacara ini akan menyebabkan rasa senang, dan hati akan mengalami suka cita.[38]

c. Aarti

            Biasanya, ibadah aarti dilakukan pada malam hari. Hal ini melambangkan kegembiraan setelah melakukan semua kegiatan agama di kuil. Selain itu, ibadah ini dapat menghancurkan semua karma dan membawa kebahagian hidup.[39]

2. Puja Khusus (Poojas)

            Ada beberapa puja  khusus yang harus dilakukan oleh penganut agama Jain, diantaranya ialah sebagai berikut:

 

a. Snatra puja. Ritual ini melambangkan thirtankara yang mandi di Gunung Meru bersama para dewa dan dewi. Biasanya, poojas dilaksanakan sebelum melakukan puja, pujaan, perayaan ulang tahun, pembukaan usah baru, pindah rumah dan lain sebagainya.

b. Panch kalyanak puja. Puja ini memperingati lima peristiwa besar dalam kehidupan para thirtankara.bkelima peristiwa itu adalah konsepsi, kelahiran, penolakan, kemahatuhanan dan moksa.

c. Antaray karma puja. Ada delapan poojas sangat mirip dengan Ashta prakari pooja. Dalam poojas disebutkan tentang bagaimana orang yang berbeda menciptakan antraykarmas, dan mereka mampu menghapus hambatan tersebut setelah melakukan poojas ini.

3. Pujan

            Pujan adalah sebuah ritual panjang yang hampir berlangsung sepanjang hari, serta dilakukan oleh orang-orang yang sangat terpelajar dan melibatkan banyak orang dalm upacara ini. Biaanya, upacara ini dilakukan saat upacara pembukaan candi baru, penebusan dosa khusus seseorang dan lain sebagainya.

4. Ibadah Puasa

            Puasa merupakan salah satu ibadah yang dilakukan oleh para penganut agama Jain. Biasanya, ibadah ini dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti hari raya. Puasa lebih sering dilaksanakan oleh kaum wanita dibandingkan dengan prianya. Mereka menjalankan ritual berpuasa sebagai bentuk penebus dosa, ini biasanya dilakukan oleh para pendeta.

            Ada beberapa jenis puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Jain, di antaranya ialah sebagai berikut:

  1. Puasa penuh, yaitu tidak makan dan minum secara penuh dalam jangka waktu tertentu.
  2. Puasa sebagaian, yaitu makan lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk mencegah rasa lapar.
  3. Vruti sankshepa, ini aalah jenis puasa dengan hanya membatasi jenis makanan yang dikonsumsi.
  4. Rasa parityaga, puasa ini adalah dengan menghindari makanan yang disenangi.
  5. Puasa agung, puasa ini merupakan salah satu jenis puasa yang dilakukan oleh Mahavira. Biasanya, beberapa pendeta Jain berpuasa selama berbulan-bulan.[40]

Misalnya melaksanakan puasa sampai 6 bulan. Bahkan saat ini, masih ada yang berpuasa lebih dari 6 bulan, seperti Hira Ratan Manek. Selain itu, berpuasa sampai setahun penuh pernah dilakukan oleh Sri Sahaj Muni Maharaj, yang mengakhiri puasa selama 365 hari pada 1 Mei, 1998.[41]

Selain beberapa jenis puasa tersebut, ada sebuah ritual puasa yang cukup ekstrem yang dilakukan oleh penganut agama Jain. Puasa ini disebut puasa santhara dan sallenkhana. Dalam ritual ini, seseorang berpuasa hingga ajal menjemputnya, ia benar-benar berhenti makan dengan maksud untuk menyiapkan kematiannya. Namun, puasa ini berbeda dengan bunuh diri, karena tidak dilandasi oleh perasaan marah atau emosi, tetapi dilakukan bila tubuh tidak mampu lagi melayani pemiliknya sebagai alat spiritualitas. Tujuannya ialah untuk membersihkan badan dan menyingkirkan semua keinginan yang bersifat fisik dan pikiran. Seperti halnya menghentikan makan dan minum sehingga ia bisa memusatkan pikiran ke arah spiritual menyongsong kematian.[42]

F.         Kitab Suci

       [43]                  [44]

            Kitab suci agama Jain adalah Siddhanta, bermakna pembahasan, disebut juga Agamas, berarti perintah, ajaran, pimbingan, disusun dalam bahasa Ardhamagadhi. Isi kitab Jain terdiri 12 Angas (bab), dibagai menjadi empat belas Purwa, lima Prakarana dan literatur sutra. Menurut Jainisme, kitab yang orisinal sejak zaman Thirtankara yang pertama terdiri dari dua buah buku suci, yaitu 14 Purwa dan 11 Anga. Kesebelasan Anga terdiri dari 45 teks. Selain itu terdapat pula 12 Upanga, sepuluh Painna (Prakirna), enam Chhedddasutra, Nandi dan Anuyogadvara serta empat Mulasutra.[45]

Mengenai jumlah Angas yang menjadi bagian kitab suci, terdapat perbedaan pandangan di antara sekte-sekte Jain. Sekte Digambara mengakui 80 buah Angas, Sekte Svetambara mengakui 45 buah Angas, dan Sekte Sthanavaksi, hanya mengakui 33 buah Angas. Semua para Jain menyebarkan ajarannya secara lisan, begitu pula Mahavira. Sepeninggalan Mahavira (599-527), kurang lebih abad ke-4 SM, barulah ajaran-ajaran Mahavira disusun dan dihimpun secara tertulis.[46]

            Pada waktu itu, para pemuka agama Jain berkumpul di kota Paleopatra untuk mendiskusikan perihal kodifikasi khutbah-khutbah Mahavira, namun usaha tersebut belum membuahkan hasil, karena masih berselisih tentang sebagian sumber dari khutbah-khutbah tersebut. Oleh karena itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda sampai tahun 57 M dan akhirnya, dibubukan sebagaian naskah yang didapatkan setelah cukup banyak kehilangan. Pada abad ke-5 M, diselenggarakan pertemuan lain di kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan Jainisme yang dianggap suci. Pertama, ditulis dalam bahasa Ardaha Majdi, kemudian ditulis dengan bahasa Sanskerta.[47]

            Pada tahun 1625 M, disusun sebuah ensiklopedia Jainisme oleh Vinaya Vijaya, anak laki-laki Tejapala, dengan nama Lokaprakasa dengan menggunakan bahasa Ardhamagadhi (dialek campuran wilayah Magadha, Behar modern), yang sering disebut Apabhramsa atau Jain-Prakrt, bentuk bahasa Sanskrit yang telah rusak.[48]

Perbedaan pengakuan jumlah Anga di antara sekte Jain, melahirkan perselisihan di antara sekte tersebut. Sekte Digambara menganggap sekte Svetambara telah menyimpang dan mengingkari Kanon otentik yang disusun Sthulabhara yang kemudian direvisi dan ditulis kembali berdasarkan konsili yang dilaksanakan di Valabhi, Saurashtra pada abad ke-5 M. Digambara juga mengklaim Tattvarthadigamasutra karya Umasvati, sebagai milik sekte Digambara. Adapun literature Jainisme yang digunakan oleh sekte Svetambara berbahasa Jain-Prakrt, sebagai berbentuk prosa, sebagian berbentuk puisi, sebagian berasal dari zaman Mahavira, dan sebagiannya dari zaman setelahnya.[49]

G.        Sekte di Dalam Agama Jain

            Sekitar tahun 310 sebelum Masehi terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam kalangan agama Jaina itu, yakni lebih kurang tiga abad sepeninggalan Mahavira (599-527 SM). Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India Utara. Sebanyak 12.000 orang dari jemaat Jaina itu, dibawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan perpindahan menuju belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore.[50]

            Dengan begitu jemaat Jaina itu telah terpecah dua, yaitu belahan Utara dan belahan Selatan. Belahan Utara itu beriklim dingin dan belahan Selatan beriklim panas. Di dalam wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan jemaat Jaina pada belahan Utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni hidup secara asketik.[51]

            Sekitar tahun 82 Masehi barulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah pakaian. Jemmat Jaina yang mendiami wilayah pada belahan utara pegunungan Vindaya, yang bersuhu sejuk itu, selalu mengenakan pakaian putih. Jemaat Jaina itulah yang dipanggil dengan sekte Svetambara, yakni jemaat berpakaian putih.[52]

            Masalah pakaian itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara kedua sekte. Sekte Digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira di dalam pengembaraannya, yang tiada ambil mumet dan tiada ambil peduli terhadap kebutuhan duniawi.

            Tetapi semenjak abad ketujuh Masehi, yakni semenjak anak benua India itu berada di bawah kekuasaan Islam, maka anggota jemaat Digambara itu mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan cawat.

H.        Reformasi dalam agama Jaina

            Persentuhan agama Jaina dengan agama Islam pada anak benua India itu lambatlaun menimbulkan pengaruh dalam lingkungan agama Jaina itu. Pada tahun 1474 Masehi lahir suatu sekte baru, yang dipanggilkan sekte Sthanavaksi, muncul dari lingkungan sekte Svetambara pada belahan India Utara.

            Sekte Sthanavaksi itu merupakan gerakan reformasi dalam agama Jaina, yakni gerakan pembaharuan. Mereka berikhtiar mendalami dan menyelidiki kitab suci Siddhanta, lalu memisahkan Angas yang dapat dipandang otentik dan Angas yang dipandang susunan pada masa belakangan.[53]

            Di dalam Angas yang dipandang otentik itu tidak dijumpai pemujaan terhadap patung dan berhala. Justru kuil-kuil yang menjadi milik jemaat Sthanavaksi itu, sampai pada masa sekarang, tidak berhiaskan patung apapun juga.[54]

 

Perbedaan antara sekte Digambara dan Svetambara, yaitu :

  1. Sekte Digambara, pendeta yang sempurna kalau pergi tidak boleh membawa bekal makanan apa pun; sekte Svetambara, membolehkannya.
  2. Sekte Digambara, pendeta tidak memiliki apa-apa, berpergian tanpa pakaian; sekte Svetambara, membolehkannya.
  3. Sekte Digambara, pencerahan jiwa tidak mungkin dapat dicapai oleh wanita, tidak memiliki pendeta wanita; sekte Svetambara, meyakini mallinata, tirthankara ke-19 ialah wanita, dapat menerima pendeta wanita.
  4. Sekte Digambara, patung-patungnya telanjang, digambarkan mati terhadap keinginan dunia dengan mata kesedihan; sekte Stevambara, patungnya memiliki mata gelas dalam marmer, diberi cawat dan dihiasi dengan permata.
  5. Sekte Digambara, mempersembahkan cengkeh, kelapa kering, gula, beras kepada patung-patungnya sebagai persembahan; sekte Stevambara mempersembahkan bunga-bunga segar dan buah-buahan.
  6. Sekte Digambara tidak memiliki patung pribadi di rumah; sekte Stevambara memiliki kuil keluarga.[55]

Persamaan dan Perbedaan agama Jain, agama Budha, dan agama Hindu.

  1. Persamaan :
     

  • Konsep ketuhanan :     Sama-sama kedua agama ini tidak mengakui tuhan ataupun dewa sebagai pencipta.
  • Kehidupan dunia :                   Agama Jain dan agama Buddha sama-sama membahas tentang Dukha.
  • Kelahiran kembali :     Agama Jain dan agama Hindu membahas Reinkarnasi (kelahiran kembali yang terus-menerus) karena jiwa masih terbelenggu oleh benda-benda karma.
  • Tujuan hidup :             Agama Jain dan agama Hindu membahas tentang Moksa.

  1. Perbedaan :
     

  • Konsep ketuhanan :    Agama Hindu berbicara mengenai mempercayai dewa sebagai pencipta, yaitu Dewa Wisnu.
  • Alam kehidupan manusia :      *Jain:   Alam sudah ada sejak zaman azali

*Buddha: Alam terjadi menurut hukum pattica sammapada

                                                            *Hindu : Alam diciptakan

  • Kehidupan dunia :      Agama Hindu membahas tentang Awidya (ketidaktahuan)
  • Karma :          
    *Jain: Karma terjadi karena bercampurnya jiva dengan ajiva

*Buddha: Karma adalah perbuatan baik dan jahat yang dilakukan oleh seseorang melalui jasmani, ucapan, dan pikiran yang disertai dengan cetana (khendak atau niat)

*Hindu: Karma adalah akibat pahala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma

 

  • Kelahiran kembali :     Agma Buddha menyebutnya Punarbhava
  • Tujuan hidup : dalam agama Buddha, Nibbana yaitu terbebasnya segala dukha, berakhirnya rantai kehidupan, perniagaan keinginan, dendam, dan kebodohan.
  • Peribadatan: Jain: Hidup asketik

                        *Buddha : Mengamalkan sila, samadi, dan pana

                        *Hindu: Upacara dan Yadnya

  • Orang suci Jain: Tirthankara

*Buddha : Bodhisatwa atau arahat

            *Hindu : Rsi atau Muni

  • Mencapai moksa atau Nibbana:         
    *Jain : Pengendalian badan dan jiwa   melalui hidup asketi

*Budhha: mengikuti drlapan jalantengah yang diajarkan Buddha Gautama

                                                            *Hindu : menjalankan upacara Yadnya.[56]




BAB III

PENUTUP

 

A.        Kesimpulan

            Agama Jain, sebagaimana agama Buddha muncul sebagai penolakan terhadap otoritas kemutlakan weda dan reaksi atas ajaran Brahmanisme yang sangat ekstrem, terutama sistem kasta dan dominasi kalangan Brahmana. Sejarah kehidupan Mahavira hampir mirip dengan Sirdharta Buddha Gautama, termasuk perjalan rohani antara keduanya. Masing-masing melakukan pencarian kebenaran, karena sama-sama tidak percaya adanya pertolongan dari pemujaan terhadap patung, dewa, otoritas pendeta. Keduanya mendapat kesadaran tentang keselamatan yang hanya akan datang kepada orang yang mempunyai kepercayaan yang benar, pengetahuan yang benar dan tingkah laku yang benar. Perbedaan keduanya, kalau Sidharta memakai delapan jalan tengah untuk mencapai tujuannya, sementara Mahavira dengan melakukan pertapaan (asketisme) yang sangat keras dan ketat. Bahkan salam kehidupan keseharian umat awam pun begitu banyak larangan-larangan, sampai menginjak cacing, memotong rumput dan membunuh binatang-binatang kecil yang mengganggu pun tidak dibolehkan. Mahavira menyakini bahwa berpantangan diri dan penyiksaan diri akan mencapai hidup baik dan dapat mengembalikan jiwa pada hakikatnya.

B.        Saran

            Kami menyarankan kepada mahasiswa seluruhnya khususnya kepada mahasiswa Islam, agar kita mempelajari banyak ilmu khususnya ilmu tentang Islam. Supaya pemikiran kita tidak mudah terombang-ambing oleh arus pemikiran di zaman sekarang ini. Dan juga supaya akidah kita tidak terombang-ambing oleh pemikiran yang kurang tepat.



 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sou'yb, Joesoef. 1996. AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA. Jakarta: PUSTAKA ALHUSNA

Al-Maghlouth, Sami bin Abdullah. 2011. ATLAS AGAMA-AGAMA. Jakarta: Almahira.

Nadroh, Siti & Azmi, Syaiful. 2013. AGAMA-AGAM MINOR. Cet. 1. Jakarta: UIN JAKARTA PRESS.

Imron, Muhammad Ali. 2015. SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA. Yogyakarta: IRCiSoD

Nadroh, Siti & Azmi, Syaiful. 2015. Agama-Agama Minor. Ed. 1. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.

Romdhon, dkk. 1988. AGAMA-AGAMA DI DUNIA. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.



[1]  M. Ali Imron, Sejarah Lengkap Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 158
[2]  Mukhti Ali , Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), hal. 153
[3]  Mukhti Ali , Agama-Agama di Dunia, hal. 152
[8]  Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Surabaya: Paramita, 2003), Hal. 101
[9]  Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 151
[10]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 122
[11]  Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 153
[12]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 121-123.  
[13]https://www.google.co.id/search?dcr=0&biw=1366&bih=627&tbm=isch&sa=1&q=mahavira&oq=mahavira&gs_l=psy-ab.3...2160376.2166577.0.2166844.33.16.0.0.0.0.0.0..0.0....0...1.1.64.psy-ab..33.0.0....0.CA_vCBlrSTs#imgrc=WqT89StmwvZOwM:
 
[14]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 161
[15] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 124
[16] Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal. 130
[17] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 124
[18]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015),  hal. 162
[19]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 124
[20]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 163
[21]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), hal. 126
[22]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 126
[23]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 166
[24] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 126
[25] M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 167
[26]  Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal.133-135
[27] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 127
[28] M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 165-166
[29] Sami bin Abdullah al-Maghlouth, ATLAS AGAMA-AGAMA, (Jakarta: Almahira, 2011). Hal. 564.
[30]  Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 154
[31]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 167
[32] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, AGAMA-AGAMA MINOR, Cet. 1, (Jakarta: UIN JAKARTA PRESS, 2013), hal. 68-69.
[33]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 176
[34]  Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal. 136
[35]  Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 178
[37]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 183
[38]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 183
[39] M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 183
 
[40]  Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal 152-153
[41]  M. Ali Imron, SEJARAH LENGKAP AGAMA-AGAMA DI DUNIA, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 185
[42]  Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 130
[45] Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal. 140-141
[46]Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 130 
[47] Sami bin Abdullah al-Maghlouth, ATLAS AGAMA-AGAMA, (Jakarta: Almahira, 2011). Hal. 565.
[48] Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 157-158
[49] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, AGAMA-AGAMA MINOR, Cet. 1, (Jakarta: UIN JAKARTA PRESS, 2013), hal. 66-67
[50]   Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 154
[51]  Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal. 140
[52]  Romdhon, dkk, , Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal. 174
[53]  Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal. 140
[54]  Joesoef Sou'yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta: PUSTAKA AL-HUSNA, 1996), hal. 141.
[55]  Romdhon, dkk, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS 1988),  hal.155-156
[56] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor, Ed. 1, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,  2015), hal. 160-161

Komentar

Postingan populer dari blog ini

E-book Agama-Agama Di Dunia